Kamis, 08 Agustus 2013

Malam Takbiran dan Manusia Gerobak

Latar: Jalan I Gusti Ngurah Rai, 
Rabu, 7 Agustus, 10.30 PM

Secercah sinar hilal telah nampak dari bulan baru. Menandakan Ramadhan telah berakhir. Bulan yang penuh rachmat telah meninggalkan seluruh insan yang mencintainya. Malam 1 Syawal ditandakan dengan berkumandangnya gema takbir di berbagai penjuru. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar Walillailham~ Seraya setiap makhluk serentak bertakbir. Semua berbaur dalam suka malam takbiran. Semua bersyukur menyambut kemenangan, walau kesedihan menerpa dan berkaca pada realita, dihinggapi sendu Ramadhan telah berlalu.

Sorak sorai umat menggema ibu kota. Pawai takbiran di jalanan memenuhi sudut jalan yang kemarin-marin terlihat lengang ditinggal mudik warganya. Mulai dari sepeda motor, mobil bak terbuka sampai angkutan kota yang disulap menjadi mobil konvoi takbiran mewarnai malam takbir jalanan. Nampak pula polisi-polisi yang mengorbankan waktu berharga mereka bersama keluarga sedang bertugas mengamankan dan mengatur lalu lintas jalanan yang semrawut.

Di balik gemerlap suka malam takbiran, beberapa umat merasakan sesuatu yang tak dapat mereka gapai. Umat yang termarjinalkan kejamnya arus ibu kota. Mereka adalah orang-orang jalanan atau yang dengan bahasa kasarnya tenar sebagai 'manusia gerobak'. 

Di Jalan I Gusti Ngurah Rai yang biasanya dipadati kendaraan setiap harinya, aku melihat fenomena yang sungguh mengetuk hati kecilku. Tepatnya di depan Lembaga Permasyarakatan Cipinang terlihat puluhan manusia gerobak yang sedang beristirahat. Di trotoar mereka melewati malam takbiran ini. Di pinggir jalanan yang dikotori debu dan asap knalpot, mereka bermandikan suara bising kendaraan. Gema takbir hanya samar-samar terdengar di sini. Entah apa yang persis mereka lakukan dan rasakan, aku hanya bisa mengamati secara kasat mata. Aku hanya bisa memandangi mereka dengan pandangan yang dikotori paham hedonisme. Aku hanya bisa berempati pada mereka. Mereka bak guru yang mengajari ku arti kata 'syukur'.

Wajah-wajah lesu, wajah-wajah murung sebagian besar mereka pasang. Terpancar aura penuh tekad menaklukan ibu kota. Terlihat mereka hanya memandangi pengendara yang berlalu lalang melintasi jalan I Gusti Ngurah Rai yang padat-lancar. Beberapa dari mereka bersenda gurau dengan keluarga, senyum kecil terlihat, tawa jenaka mereka perlihatkan, mereka berbaur dengan keluarga seakan mengisyaratkan, kebersamaan dengan keluarga adalah anugerah terindah yang diberikan Allah di malam Lebaran. 

Baju baru yang kita dambakan di Hari Raya atau THR yang ingin kita dapatkan bagi mereka hanya angan-angan manis yang sulit mereka gapai. "Uang dari mana beli baju baru?" mungkin pertanyaan seperti itulah yang dominan mengisi kekosongan rejeki mereka. Mereka hanya berharap ada orang dermawan yang memberi mereka kenyataan dari angan yang telah mereka ciptakan.

Jangankan baju baru, alas kardus baru saja mereka sudah senang. Jangankan THR, seliter beras saja mereka sudah bahagia. Demi menyambung kehidupan diri sendiri dan keluarga terkasih, sang manusia gerobak berkeringat memperoleh nafkah, siang hingga malam mereka lewati dengan keringat penuh lelah. Mungkin banyak dari mereka yang mengalami hal yang sama 'puasa' di dua belas bualn dalam setahun. Sama halnya ketika puasa Ramadhan. Ramadahn sama halnya ketika hari-hari biasa yang mereka lewati dengan 'berpuasa'. 

Mereka hanya tidur beralaskan kardus atau terpal kotor, berbeda dengan kita yang beralaskan empuknya kasur busa yang lembut. Mereka di kelilingi udara dingin menikam yang bertiup di setiap sudut jalan ibu kota. Hanya kehangatan kebersamaan keluarga yang mampu membuat mereka bertahan dari udara dingin yang membunuh tersebut. Mereka makan hanya dengan nasi bungkus yang didapat dari uang hasil kerja keras seharian, makan tiga kali sehari adalah hal yang tersier bagi mereka, berbeda dengan aku yang hanya sebagai anak yang makan hasil kerja orang tua, bahkan terkadang tak mensyukuri makanan yang telah disuguhkan. Sungguh fenomena miris dualisme yang terjadi dalam kehidupan.

Hidup memang sulit, penuh lika-liku rintangan yang setiap saat siap menghadang. Realita demi realita yang terjadi adalah fenomena biasa yang diluarbiasakan oleh orang-orang yang mau belajar arti hidup. Di tengah suka-cita pesta-pora pasti di tempat lain terjadi suka-duka rintih-tangis. Semua adalah hal biasa!

Manusia Gerobak mengajari kita apa arti hidup, bagaimana mengarunginya dan menaklukannya.
Manusia Gerobak mengajari kita tentang kehidupan lain di tengah hedonisme yang terjadi di perkotaan.
Manusia Gerobak mengajari kita kebersamaan dan pengorbanan tanpa kenal lelah demi keluarga sedarah.
Manusia Gerobak mengajari kita tentang rasa syukur yang sering kita remehkan dan acuhkan.
Tanpa kita sadari Manusia Gerobak adalah guru yang mengajari kita berbagai hal yang akan menuntun kita ke kehidupan yang lebih baik lagi.

2 komentar:

Translate