Kemenangan Inggris dalam perang melawan
Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan
Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura,
dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di
Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan
Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles
(1811-1816).
Gagasan Raffles mengenai sewa tanah dilatar
belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak
memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita
Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan,
persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda.
Selain itu adanya paksaan dari
pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai
kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu,
pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan
penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada
masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa
yang akan ditanam.
Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.
Stelsel
yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini
dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan
kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan
negara atau negara mengalami kerugian. Pada
hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi
di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem
penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.
Gambar: Thomas Stamford Raffles
Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sitem sewa tanah atau dikenal jugadengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente. Dalam usahanya untuk melaksanakan sisten sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu:
1.
Segala bentuk dan jenis penyerahan
wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk
menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan
jenis tanaman apa yang akan ditanam.
2.
Pengawasan tertinggi dan langsung
dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan atas
tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara
bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada
pekerjaan-pekerjaan umum
3.
Menyewakan tanah-tanah yang diawasi
pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut
keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas,yaitu:
1.
Kelas I, yaitu tanah yang subur,
dikenakan pajak setengah dari hasil bruto.
2.
Kelas II, yaitu tanah setengah subur,
dikenakan pajak sepertiga darihasil bruto.
3.
Kelas III, yaitu tanah tandus,
dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
A. PELAKSANAAN SEWA TANAH
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa
pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford
Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari
tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak
penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.
Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente.
Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang.
Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente.
Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang.
Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah:
1.
Penyelenggaraan sistem pemerintahan
atas dasar modern
Pergantian
dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang
dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan
tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional
sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi
ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut
digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
2.
Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan
pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak
tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada
masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap
orang bukan seluruh desa.
3.
Pananaman tanaman dagangan untuk
dieksport
Pada
masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi
yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa
tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani
dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani
dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.
Dua hal yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah:
1.
Memberikan kebebasan berusaha kepada
para petani Jawa melalui pajak tanah.
2.
Mengefektifkan sistem administrasi
Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai
kejujuran, ekonomi, dan keadilan.
Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah. Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya memdapatkan hak-hak atau pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.
Setiap orang dibebaskan menanam apa
saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya kepada siapa saja di pasar yang
telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena kecenderungan rakyat yang telah
terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya menanam saja, untuk mernjual
tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan, sehingga mereka
kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertanian kepada para kepala-kepala
desa untuk menjualnya di pasar bebas. Tentu saja hal ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang
dilakukan oleh para kepala desa tersebut.
KEGAGALAN SISTEM SEWA TANAH
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang
dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di
Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan
ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk
pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu
di sebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang
kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di
Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah:
1.
Keuangan negara yang terbatas,
memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.
2.
Pegawai-pegawai negara yang cakap
jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan
pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang
berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.
3.
Masyarakat Indonesia pada masa itu
belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem
sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa
masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan
karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam
penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.
4.
Masyarakat Indonesia terutama di desa
masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga
motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil
pertanian belum disadari betul.
5.
Pajak tanah yang terlalu tinggi,
sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat menurunkan
produksifitas hasil pertanian.
6.
Adanya pegawai yang bertindak
sewenang-wenang dan korup.
7.
Singkatnya masa jabatan Raffles yang
hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan
penyimpangan dalam sistem sewa tanah.
Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masi cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar