Sabtu, 26 April 2014

Ojek Payung dan Sholat Jumat


Hari Jumat (4/4), seperti hari-hari biasanya, umat Islam melakukan Sholat Jumat. Jumat yang penuh rahmat dan barokah. Kaum pria mempersiapkan diri menghadap Sang Pencipta, meninggalkan segala pekerjaan di waktu Jumat. Begitupun suasana UNJ yang kental akan nuansa Islami, menampakan kegiatan warga kampus hijau ini yang berlalu-lalang walaupun tak seramai hari-hari biasanya.

Pukul 10 pagi hari masih cukup cerah namun dengan lambat cuaca berubah. Langit mulai menghitam, sinar matahari mulai tergerogot awan hitam, cuaca mulai mendung. Tak lama berselang rintikan air hujan turun, lambat laun mulai menderas. Di Sekitar gedung parkir terlihat mahasiswa-mahasiswi berteduh. Menahan diri untuk menuju gedung kuliah, basahnya air hujanlah yang menahan mereka. Mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitar Fakultas Ilmu (FIP). Pendidikan segera berteduh di sekitar gedung FIP Begitupun dengan gedung BAAK yang digunakan sebagai tempat teduh. Warga kampus hijau seakan bereaksi cepat, mahasiswa dan karyawan melesat mencari tempat berteduh.

Udara dingin dan lembab menyelimuti kampus hijau. Rata-rata mahasiswa mengenakan jaket untuk melindungi diri dari udara dingin dan air hujan. Mereka terpaku meratapi rintikan hujan yang membasahi kampusnya. Detik demi detik, menit demi menit dan satu jam berlalu, hujan masih mengguyur kampus hijau. Kaum Adam mulai memikirkan bagaimana caranya untuk Sholat Jumat, menerobos hujan demi menghadap Sang Khalik di Rumah-Nya.

Di tengah derasnya air hujan, mulai nampak malaikat-malaikat kecil. Membawa senjata mulianya, 'payung sakti'. Dengan payung berbagai ukuran, bocah-bocah itu menawarkan jasa ojek payung. Dengan pakaian sederhana, tanpa mengenakan alas kaki, bahkan terlihat pula ada anak yang masih mengenakan celana sekolah berwarna merah, tak takut air membasahi mereka. Demi uang jajan atau bahkan penambah biaya sekolah mereka rela berbasah-basahan. Sungguh unik, meskipun pekerjaan mereka hanya musiman.

Kaki-kaki kecil nan lincah itu berjalan menerobos genangan air di jalan kampus yang becek. Hujan masih terus mengguyur. Itu berarti berkah bagi sang "ojek payung". Terlebih waktu mulai mendekati waktu Sholat Jumat. Kaum Adam yang berteduh sangat membutuhkan bantuan mereka untuk menuju Rumah Allah tanpa harus basah kuyup. Sang ojek payung pun kebanjiran, bukan kebanjiran air, tapi kebanjiran order ngojek. Beberapa mahasiswi meneriaki si ojek payung untuk menghampiri mereka, namun sayang, si ojek payung tengah sibuk melayani pelanggannya yang sedang memakai payungnya.

Suara berisik gemercik air hujan mungkin mengganggu pendengaran, bahkan teriakan pun terdengar hanya lewat saja. Tapi si ojek payung mengandalkan keahliannya mencari calon pelanggan di pinggiran tempat teduh. Bak pahlawan hujan, mereka sangat berguna membantu mahasiwa maupun karyawan yang hendak pergi ke suatu tempat tanpa harus berbasah-basahan. Demi mengais rupiah yang tak seberapa mereka tampaknya tak menghiraukan kesehatan mereka. Biasanya pelanggan ojek payung memberikan seribu rupiah sampai lima ribu rupiah.

Berkah Jumat sangat terasa bagi si ojek payung. Hujan yang turun memberikan arti tersendiri bagi mereka. Hujan bagi mereka adalah peluang. Peluang mandapat receh-receh rupiah. Meraup untung materi dari hujan. Selain materi, berkah lain pun mengalir ke dalam diri mereka. Rupiah-rupiah yang tak kasat mata, pahala. Si ojek payung mengantarkan calon jamaah Sidang Jumat ke rumah suci Allah. Langkah demi langkah mereka adalah pahala. Air hujan bagaikan air yang menghidupi ladang pahala bagi si ojek payung.


Sepanjang waktu Jumat hujan terus turun. Disertai angin kencang dan petir yang menggelora. Masjid Nurul Irfan pun kebasahan. Di depan pintu gerbang halaman Masjid, 'anak-anak hujan' itu mengantar jamaah. Mendapat imbalan seribu-dua ribu rupiah. Dengan wajah penuh sumringah menerima uang hasil keringat hujan mereka. Si ojek payung pun pergi, mencari calon pelanggan yang sedang menunggu. Menunggu kedatangan pahlawan hujan dengan senjatanya. Mereka sangat santai dan menikmati hujan, berjalan dengan lincah, penuh keceriaan. Senda gurau bersama teman. Membawa payung yang hampir sama besarnya dengan badan. Tak terlihat beban di antara mereka. Hujan adalah berkah bagi orang-orang yang giat.

Sabtu, 05 April 2014

Penelitian Hari Pertama (Ibu Penjaga Warung yang Ramah)


Pada penelitian hari pertama, aku mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Pulo Mas, Jakarta Timur. Dengan alasan, 2011 lalu aku pernah ke tempat ini untuk menjalani sidang tilang untuk pertama kalinya, meskipun pada akhirnya aku menggunakan jasa calo untuk mengambil STNK ku yang ditahan.

Hari Jumat, 28 Maret 2014, kira-kira pukul 10.00 pagi aku tiba di lokasi. Awal kedatanganku disambut sekitar 3 calo yang menawarkan jasanya. Namun tak aku hiraukan mereka. Aku terus mengendarai motor melewati pengadilan yang tampak sepi sembari melihat-lihat situasi di depan pengadilan itu. Aku heran, kenapa pengadilan yang harusnya ramai di hari Jumat ini terlihat sepi. Saat kulihat gedung pengadilan, nampak tak seperti sekitar 3 tahun lalu yang masih ramai dan terawat.

Setelah aku bertanya-tanya dalam hati sambil mengendarai motor, aku akhirnya memutar balik untuk kembali ke lokasi. Kembali, para calo dengan gencar menawarkan jasa kilat mereka, menanyakan, "mau ngambil apa de? Sini saya bantu". Aku pun hanya menjawab, "tak mengambil apa-apa mas, cuma mau liat-liat aja". Calo itu pun langsung pergi melanjutkan pekerjaannya.

Setelah memakirkan motor di parkiran tak resmi depan gerbang pengadilan, aku melihat-lihat aksi para calo tersebut. Aku bingung harus memulai penelitian ini darimana, akhirnya aku memutuskan untuk bersantai membeli minum di warung kecil yang dijaga ibu-ibu berparas ramah.

Dalam benak, aku mengatur strategi dan ingin mengambil informasi sebanyak mungkin dari penjaga warung ini. Aku membeli minuman sambil berbincang-bincang dengan si ibu. Aku memperkenalkan diri dan mengatakan tujuan datang ke sini. Perbincangan yang santai, aku menanyakan seputar pengadilan Pulo Mas yang sepi ini. Aku bertanya banyak hal, dan informasi yang diberikan si ibu cukup padat dan penting bagiku.

Si ibu telah berjualan di sekitar Pengadilan Pulo Mas sepuluh tahun lebih. Mulai dari di muka jalan by pass sampai akhirnya di depan Pengadilan Pulo Mas. Menurut penuturan beliau, pengadilan ini sudah ditutup dan segala macam sidang dialihkan ke Pengadilan Pulo Gebang. Kira-kira sudah setahun ditutup yang berarti sekitar tahun 2012 Pengadilan Pulo Mas tak beroperasi. Keherananku mengenai masih adanya calo di sekitar Pengadilan ini akhirnya terjawab. Si ibu mengatakan bahwa calo-calo di sini masih kerja walaupun pengadilan telah ditutup. Karena lokasi Pengadilan Pulo Gebang sebagai tempat pengalihan cukup jauh, maka orang-orang yang hendak mengambil surat-surat kendaraan bermotor memilih menggunakan jasa calo yang masih berkeliaran di sekitar Pengadilan Pulo Mas ini. Dengan menggunakan calo, tak perlu ribet datang ke pengadilan, menunggu antrean, walaupun beda sedikit harga sidang. Sehari menunggu, janjian di sini, bayar, urusan selesai. Calo-calo di sini juga banyak yang hijrah ke pengadilan Pulo Gebang, dan tetap bekerja sama dengan calo di Pulo Mas ini. para calo di sini dari dulu bebas bekerja asal tertib dan tak mengganggu orang. Bertahun-tahun menurut penuturan si ibu tak pernah ada razia atau penertiban oleh aparat. Karena aparat juga telah memaklumi mereka sedang mencari nafkah. Akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi penelitian hari ini dan pamit kepada sang ibu. Dan aku mendapat doa dari si ibu supaya kuliah nya lancar dan tugasnya memuaskan.


Ku rasa cukup untuk penelitian hari pertama ini, walaupun belum mewawancarai calo dan hanya melihat aksinya saja dari jauh. Di luar dugaan aku dapat memperoleh informasi penting dan menemukan informan kunci yang mengetahui sebagian praktik para calo ini. Meskipun kecewa, lokasi pengadilan yang cukup dekat dengan kampus telah ditutup, namun setidaknya masih dapat digali informasi tentang penelitian praktik percaloan ini. Untuk penelitian selanjutnya akan kufokuskan penelitianku pada Pengadilan Pulo Gebang. Bersambung. . . .

Translate